Aku selalu tersenyum dengan orang-orang sekelilingku dengan segala
tingkah mereka. Aku melihat cahaya-cahaya kebanggaan dari mata mereka,
betapa mereka meninggi, terus tinggi hingga seperti tidak pernah
mengenal bumi.
Orang-orang bilang itu membual, tetapi aku sebut dengan impian. Entah
kosong atau khayalan basi aku tak peduli. Apa yang orang-orang kata
adalah bagian-bagian dari keinginan mereka mereka, mungkin yang belum
tercapai. Ketika mereka berbicara tentang jenjang pendidikan mereka,
kesuksesan-kesuksesan hidup mereka, betapa indahnya kota-kota yang
pernah mereka lalui atau sempurnanya hidup mereka, bahkan tentang betapa
sucinya keluarga mereka.
Sebagian perkataan itu tidaklah mutlak salah. Kebanyakan benar dari
bibir-bibir manusia yang jujur. Dan aku senang dengan itu. Aku
menghargai. Aku memaklumi.
Sayangnya, sebagian manusia tidak mudah untuk menerima kebaikan yang
tidak terjadi pada diri mereka namun malah terjadi kepada orang lain.
Mereka kata, perkataan-perkataan jujur itu adalah bagian dari
kesombongan, mengangkat-angkat nama, atau entah apalah. Mereka pun tak
salah. Mereka cuma ikut apa ingin mereka.
Kaum yang menambah-nambah. Untuk mereka aku juga tersenyum.
Pembual, demikianlah orang-orang bilang
untuk mereka. Namun bagiku mereka cuma menceritakan angan-angan mereka.
Mereka terlena dengan mimpi-mimpi yang tak dapat mereka penuhi. Untuk
mereka, aku tak mampu kecut. Aku cuma memiliki senyuman, dan karenanya
aku cuma memberi apa yang aku miliki.
Aku memang tak punya kecut, namun aku punya air mata. Kepada
manusia-manusia yang tidak lagi bisa aku percaya dan mempercayaiku, aku
beri mereka air mata. Air mata itu sering tumpah, dan semakin sering
saja. Yang paling menyakitkan daripada tidak lagi aku percaya adalah aku
tidak lagi dipercaya.
Batu. Kaku. Bisu.
Aku tak pernah punya amarah. Kepada mereka aku cuma memberi apa yang
bisa aku beri. Air mata aku beri, karena aku cuma punya itu saat ini.
Cuma itu.
Lakon-lakon manusia. Aku lihat mereka seperti pelakon panggung. Ada
yang membuatku tersenyum, kadang sering membuatku menangis. Lakon mereka
adalah lakon tunggal, dan aku penonton yang majemuk.
Kepada lakon-lakon manusia aku tanya: siapa sutradara?
Mereka jawab: mereka!
Oleh : M. Baiquni
DUNIA BAIQUNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar